Malam ini aku terjebak dalam kemurkaan dusta. Goresan angin
bertiup menampar seluruh bagian muka. Langit gelap berhias petir menyambar
keresahan jiwa. Hujan turun membasahi dan menyelusup seluruh anggota sela-sela
tubuh yang lemah ini. Hatiku tiba-tiba saja teriris, teriris begitu tipis. Sesosok
tamparan keras mendarat tepat pada bagian muka penuh nanar. Tamparan keras itu
sepertinya merasuk pada seluruh saraf nadi yang berdetak begitu kencangnya dan
tiba-tiba saja terdiam, lalu membeku.
Hatiku bisu, ingin menjerit rasanya tak mampu. Hatiku buta,
tak mampu menerangi pintu mana yang harus aku pilih untuk keluar dari kesakitan
ini. Hatiku lemah, ingin meronta namun pintu hati terkunci sangat rapat.
Seakan-akan memaksaku untuk tetap berdiri kokoh, tetap berdiri walaupun
sebenarnya ingin cepat mati, segera melepaskan seluruh beban berat ini. Aku
tidak berdaya.
Hanya mata yang mampu menangis, mengalirkan air mata penuh
kesedihan. Siapa yang akan mampu mendengar bisikkan hati? Hanya dengan menatap
penuh arti kepedihan mata ini, seluruh perasaan hati dapat kau rasakan.
Bagaimana rasa sakit ini menerpa keabadianku, bagaimana hati ini terkoyahkan
oleh bayang-bayang ujung pisau dunia, bagaimana perihnya tusukkan kata-kata
tajam yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Dapat kau rasakan, pabila kau
mampu merasuk pada bola mata kepedihan ini. Tapi, aku rasa tidak ada yang mampu
melihat dan membaca kesakitanku melawan pedihnya dunia ini. Tidak ada. Tidak
ada yang perduli terhadap diri ini. Percuma. Aku hanya akan menjadi bahan
olok-olokkan orang, karena aku lemah. Aku bodoh. Aku tidak mampu.
No comments:
Post a Comment