Sampai saat ini, sesak sial ini
masih saja terus menggangguku, sengaja membuatku sangat sulit untuk bernafas.
Puas kau? Sejauh ini aku masih tetap bertahan, digoyah angin, diterpa hujan,
ditampar badai, dipukul waktu. Tak apa. Aku masih bisa berdiri, untuk menunggu.
Menilik setiap jarum jam pada pergelangan tanganku yang selalu bergerak
berputar ke arah kanan, kemudian menerawang sang kabut begitu pekat, hingga
menyulitkan bola mataku untuk memanah tepat, belum terlihat, detik berikutnya,
berikutnya, hingga terus seperti itu tak ada habisnya.
Taukah kau, waktuku benar-benar
habis karena menunggu. Tidak ada kegiatan lain dalam benakku terkecuali
menunggumu dan merindukanmu, berat. Sadarkah? Entah sampai kapan waktuku akan
habis selalu dengan akhir yang sia-sia. Apa aku harus berusaha memulai untuk
mengejarmu? Tidak hanya menunggu disini, dalam ketidak pastian. Lazimkah? Aku
hanyalah seorang perempuan biasa sayang, tidak mungkin aku harus menelan
mentah-mentah pekerjaan laki-laki sepertimu?
Hitamnya langit malam melukiskan
keraguanku untuk terus mermimpi. Hanya bermimpi, tak ubahnya seperti orang
bodoh yang ingin menggapai impiannya dengan hanya tertidur karena sebagiannya
juga adalah bermimpi. Hah, bodoh. Mimpi, mimpi, dan mimpi. Diluar batas
kesadaran, dan sama sekali bukan kenyataan. Sama definisinya dengan khayalan,
tidak berguna, karena pada ujungnya akan membuat kejatuhan yang amat sakit,
artinya gagal. Seseorang bermimpi lalu terwujud, tidak semulus itu. Butuh
pengorbanan yang luar biasa untuk mewujudkannya menjadi real atau nyata. Maka dari itu aku takut membicarakannya. Bukan
karena aku takut untuk bermimpi setinggi langit malam, hanya saja aku takut
karena sulit untuk menjangkaunya. Butuh keberanian kuat dan pengorbanan jiwa
raga membuatnya menjadi seutuhnya kugenggam, tidak mudah bukan? Aku bukan
perempuan hebat seperti itu, sayang. Aku hanyalah sesosok perempuan yang hanya
berani menyukaimu dalam kebisuan, tak lebih dari itu. Maafkan aku.
Indahnya kerlip bintang dilangit
membuatku tergiur akan keelokannya. Membelai setiap bagian mataku untuk tetap
tertuju padanya, mengecup mesra bola mata hitamku penuh kemewahan. Merampas
kekagumanku pada sang bintang, merampok keingintahuanku pada cahaya kecil dari
langit malam itu, dan mengambil seluruh perhatianku hanya tertuju pada sosok
elok dengan kerlip mesra setiap kalinya. Aku terpukau, terpana melihat
keindahannya. Membius dan mengajakku untuk berjuang untuk mendapatkannya. Ku
coba, dan ia membalasnya dengan baik, selanjutnya, ia membuatku terbang lebih mendekati.
Come closer, come closer, and than…. Aku
hanya mampu terbang setinggi ini, hanya satu perseribu bagiannya dari tempatmu.
Sesak, padahal, rasa ini menggebu, sayang, sungguh. Tapi tidak mungkin aku
melihatmu dengan jelas dari kedekatan yang nyata. Hanya mampu disini, jauh,
sangat jauh. Sesuatu seperti berbisik kepadaku, “jangan disesali, kamu
seharusnya bersenang. Kamu hanya berjuang sendirian mengejarnya, tapi dia hanya
berdiam diri menunggumu.” Apa? Dahiku mengkerut, mataku terpejam sangat pekat. Benar,
aku hanya berjuang sendirian. Berusaha untuk terbang mensejajarimu, tapi
kemampuanku tidak cukup, tapi kamu hanya berdiam diri menungguku seolah-olah
menyemangatiku dari kejauhan. Tetapi apa? Tidak ada sedikitpun perjuanganmu
terhadapku, turun satu sentimeter dari tempatmu untukku saja tidak. Bodohnya,
aku, bodoh. Sadar, karena nyatanya aku tidak setara dengan kedudukanmu.
Perjuangan menunggu, lalu mengejar, dan pada akhirnya hanya bermimpi. Hehe (y)
ReplyDeletePerjuangan perihnya menunggu, kemudian mencoba mengejar, padahal memperjuangkan seseorang yang tidak seharusnya diperjuangkan, sama halnya dengan sia-sia. hehe.
ReplyDelete