Thursday, 15 January 2015

(LAGI)

Sampai saat ini, sesak sial ini masih saja terus menggangguku, sengaja membuatku sangat sulit untuk bernafas. Puas kau? Sejauh ini aku masih tetap bertahan, digoyah angin, diterpa hujan, ditampar badai, dipukul waktu. Tak apa. Aku masih bisa berdiri, untuk menunggu. Menilik setiap jarum jam pada pergelangan tanganku yang selalu bergerak berputar ke arah kanan, kemudian menerawang sang kabut begitu pekat, hingga menyulitkan bola mataku untuk memanah tepat, belum terlihat, detik berikutnya, berikutnya, hingga terus seperti itu tak ada habisnya.

Taukah kau, waktuku benar-benar habis karena menunggu. Tidak ada kegiatan lain dalam benakku terkecuali menunggumu dan merindukanmu, berat. Sadarkah? Entah sampai kapan waktuku akan habis selalu dengan akhir yang sia-sia. Apa aku harus berusaha memulai untuk mengejarmu? Tidak hanya menunggu disini, dalam ketidak pastian. Lazimkah? Aku hanyalah seorang perempuan biasa sayang, tidak mungkin aku harus menelan mentah-mentah pekerjaan laki-laki sepertimu?

Hitamnya langit malam melukiskan keraguanku untuk terus mermimpi. Hanya bermimpi, tak ubahnya seperti orang bodoh yang ingin menggapai impiannya dengan hanya tertidur karena sebagiannya juga adalah bermimpi. Hah, bodoh. Mimpi, mimpi, dan mimpi. Diluar batas kesadaran, dan sama sekali bukan kenyataan. Sama definisinya dengan khayalan, tidak berguna, karena pada ujungnya akan membuat kejatuhan yang amat sakit, artinya gagal. Seseorang bermimpi lalu terwujud, tidak semulus itu. Butuh pengorbanan yang luar biasa untuk mewujudkannya menjadi real atau nyata. Maka dari itu aku takut membicarakannya. Bukan karena aku takut untuk bermimpi setinggi langit malam, hanya saja aku takut karena sulit untuk menjangkaunya. Butuh keberanian kuat dan pengorbanan jiwa raga membuatnya menjadi seutuhnya kugenggam, tidak mudah bukan? Aku bukan perempuan hebat seperti itu, sayang. Aku hanyalah sesosok perempuan yang hanya berani menyukaimu dalam kebisuan, tak lebih dari itu. Maafkan aku.

Indahnya kerlip bintang dilangit membuatku tergiur akan keelokannya. Membelai setiap bagian mataku untuk tetap tertuju padanya, mengecup mesra bola mata hitamku penuh kemewahan. Merampas kekagumanku pada sang bintang, merampok keingintahuanku pada cahaya kecil dari langit malam itu, dan mengambil seluruh perhatianku hanya tertuju pada sosok elok dengan kerlip mesra setiap kalinya. Aku terpukau, terpana melihat keindahannya. Membius dan mengajakku untuk berjuang untuk mendapatkannya. Ku coba, dan ia membalasnya dengan baik, selanjutnya, ia membuatku terbang lebih mendekati. Come closer, come closer, and than…. Aku hanya mampu terbang setinggi ini, hanya satu perseribu bagiannya dari tempatmu. Sesak, padahal, rasa ini menggebu, sayang, sungguh. Tapi tidak mungkin aku melihatmu dengan jelas dari kedekatan yang nyata. Hanya mampu disini, jauh, sangat jauh. Sesuatu seperti berbisik kepadaku, “jangan disesali, kamu seharusnya bersenang. Kamu hanya berjuang sendirian mengejarnya, tapi dia hanya berdiam diri menunggumu.” Apa? Dahiku mengkerut, mataku terpejam sangat pekat. Benar, aku hanya berjuang sendirian. Berusaha untuk terbang mensejajarimu, tapi kemampuanku tidak cukup, tapi kamu hanya berdiam diri menungguku seolah-olah menyemangatiku dari kejauhan. Tetapi apa? Tidak ada sedikitpun perjuanganmu terhadapku, turun satu sentimeter dari tempatmu untukku saja tidak. Bodohnya, aku, bodoh. Sadar, karena nyatanya aku tidak setara dengan kedudukanmu.